Malam
itu saya bersama si pandir sedang duduk sambil menikmati secangkir kopi panas
di sebuah café yang terletak di daerah perbukitan sambil menikmati indahnya
pemandangan dan suasana alam di malam itu. Tiba-tiba tanpa sengaja kami bertemu
sepasang suami isteri yang tampak sangat familiar, yah itu ternyata adalah
salah seorang kawan lama, dia adalah bani beserta istrinya, senior kami di
sebuah organisasi, sudah hitungan tahun kami tidak bertemu.
Kamipun
saling menyapa gembira,cukup terharu bisa bertemu secara tak sengaja di tempat
itu, lalu kamipun asyik mahsyuk tenggelam dalam perbincangan hangat penuh
kerinduan, ternyata kawanku Bani sekarang menjadi seorang relawan di sebuah
organisasi kemanusiaan Internasional, dia memiliki jabatan cukup tinggi, dia
bercerita berbagai pengalamannya dalam aksi-aksi kemanusiaan, dia bilang
sungguh menyenangkan bisa membantu dan membahagiakan banyak orang di berbagai
belahan dunia. saya lalu bercanda pada istrinya, wah mbak nggak takut tuh
ditinggal-tinggal pergi mas bani, nggak takut mas nya kepincut cewek-cewek luar?!
Kucandai
seperti itu istrinya lalu melirik sambil tersenyum mesra pada suaminya, lalu
menggelayutkan diri pada tangan suaminya, saya percaya sekali sama mas bani,
dan sudah 15 tahun pernikahan kami, mas bani tetap menjadi seorang pria luar
biasa yang selalu mesra dan bisa selalu membahagiakan saya, mendengar ucapan
istrinya bani tertawa, lalu dia bilang, setiap ada waktu luang saya selalu
mengajak istriku berbulan madu, sedikitnya sekali dalam sebulan, dan kegiatan
ini sudah rutin saya lakukan selama 15 tahun masa pernikahan kami, yah tentunya
bagaimanapun kebahagiaan keluarga saya adalah nomor satu, bagaimana mungkin
saya bergelut menghabiskan hidup saya untuk membahagiakan banyak orang tetapi
anak isteri saya tidak mampu saya bahagiakan.
Wah
jujur saat itu saya merasa sangat kagum dengan sosok seniorku itu, dia hidup
menjadi pahlawan bagi banyak orang dan bagi keluarganya, ditengah saya sedang
sibuk mengagumi sosok mas bani ini, kawanku pandir nyeletuk, gimana dengan
ibumu mas apa kabar? Terakhir di telpon keadaan nya baik shob, jawab bani,
kapan terakhir ketemu Ibu? Tanya pandir lagi, lebaran kemarin shob. Wah lama
juga yah mas, sering telpon ibu? Yah lumayan, minimal sebulan sekali saya
sempatkan sekalian saya mengirim uang untuk ibu, yah berbagi sedikit
kebahagiaan juga dengan ibu shob, jawab bani. Pandir melanjutkan pertanyaannya,
yakin mas ibu sudah cukup bahagia dengan kiriman uang dari sampean itu? Selama menikah
sudah berapa kali sampean ngajak ibu sampean makan bersama seperti sampean
ngajak makan diluar istri sampean?
Mendapat
berondongan pertanyaan dari si pandir raut muka mas bani mulai berubah memucat,
dengan suara yang berubah menjadi berat mas bani menjawab, astaghfirullaah,
terimakasih shob ente udah ngingetin saya, selama 15 tahun setelah saya menikah
belum pernah sekalipun saya mengajak ibu saya untuk menikmati makan bersama di
luar,saya hanya berfikir saya sudah merasa berbakti dengan mengiriminya uang
setiap bulan, tanpa saya pernah bertanya bagaimana ibuku ingin kubahagiakan. Lalu
istrinya tersenyum dan berkata mas minggu depan kan kamu libur, coba sekarang
telpon ibu dan bilang sama ibu minggu depan kamu bakal ngajak ibu jalan-jalan.
Saat
itu juga mas bani menelpon ibunya, sengaja suaranya dia keluarkan lewat
loudspeaker biar kami semua mendengarnya, Ibunya mas bani seorang janda,beliau
ditinggal mati suaminya saat mas bani duduk di bangku SD,yang akhirnya terpaksa
ibunya harus menjadi single parent yang berperan sebagai ibu sekaligus ayah bagi
mas Bani anak semata wayangnya, tiba-tiba terdengar suara tua ibu mas bani
mengangkat telpon, lalu ibunya dan mas bani saling bertanya kabar, kemudian mas
bani berkata pada ibunya, bu minggu depan bani libur 3 hari, rencananya bani
mau ngajak ibu jalan-jalan ke bandung, bani pengen ngajak ibu mengunjungi
tempat-tempat yang dulu suka ibu certain sebagai tempat penuh kenangan antara
ibu dan ayah, sekalian bani ajak ibu makan di restoran favorit ibu dimana ibu
suka ngajak bani makan disitu kalau pas lagi liburan? Gimana bu,kalau ibu
bersedia jum’at sore bani jemput? Tanya bani pada ibunya.
Nampaknya
ibunya merasa heran, dia malah balik bertanya, anakku apakah terjadi sesuatu
padamu? Tidak bu tidak terjadi apa-apa sama Bani,berulang kali ibunya bertanya
seperti itu dan dijawab dengan jawaban yang sama oleh mas bani, setelah yakin
akhirnya ibunya mendesah dan bilang syukurlah kalau memang gak terjadi apa-apa
sama kamu anakku, beneran nih ibu jalan-jalan sama kamu? iya bu, ibu
jalan-jalan sama bani, terus menantu sama cucu ibu diajak juga kan? Iya diajak,
tapi nanti istri sama anak bani Cuma bisa nemenin ibu sehari pas hari minggu
saja,mereka menyusul nanti,soalnya anak bani kan sekolah bu, yah dengan sangat
senang hati ibu mau ban, sudah 15 tahun yah sejak kamu menikah kita belum
pernah pergi sama-sama lagi? Iya bu, kalau gitu sampai ketemu hari jum’at yah
bu,dan mas banipun mengakhiri telponnya.
Yah
itulah cerita saat bersama temanku pandir bertemu dengan mas bani, tiba-tiba
seminggu yang lalu kami mendapat kabar kalau ibunya mas Bani meninggal dunia,
saya bersama pandir akhirnya memutuskan untuk datang bersama-sama menemui
senior kami itu di acara tahlilan 7 hari ibunya mas bani, kami melihat
kesedihan yang begitu mendalam di wajah mas bani masih begitu Nampak dengan
sangat jelas, saat melihat kedatangan kami, mas bani langsung memeluk kami dan
tangisnyapun pecah tak tertahankan.
Setelah
selesai acara tahlilan mas bani mengajak kami berbincang di halaman belakang
rumahnya, sudah tersedia 3 cangkir kopi dan cemilan, dengan tatapan mata nanar
ke langit, mas bani mulai bercerita, tempo hari setelah pertemuan kita di café itu,
hari jum’at pekan depannya saya menepati janji saya mengajak ibu jalan-jalan,
saat saya menjemputnya, ibu tampak sudah sangat siap dan wajahnya begitu
gembira, raut kebahagiaan itu begitu tampak jelas diwajahnya, yang baru
kusadari kalau dia ternyata sudah semakin tua, saat melihat mobilku datang,ibu
langsung sedikit berlari menghambur keluar menyambutku, saat saya turun dari
mobil ibu langsung memeluk dan menciumiku, saat kutanya apa ibu sudah siap? Ibuku
menjawab wah ibu sih sudah siap sejak siang tadi, dan semua persiapan sudah ibu
lakukan sesaat setelah kamu telpon ibu minggu lalu, dan tau tidak ban, tak ada
satu pun tetangga di Blok ini yang tak ibu kabari,mereka iri loh sama ibu,
karena punya anak sebaik kamu, dan mereka tiba-tiba banyak yang merengek
meminta diajak jalan sama anak-anaknya.
Jujur
saat itu muncul perasaan sangat berdosa dihati saya, ternyata sudah begitu lama
saya membiarkan ibu dalam kesendirian, nampaknya ibu sangat merindukan
saat-saat seperti waktu itu, dan saat yang dinantikannya pun akhirnya datang
juga, saat itu kami benar-benar menikmati kebersamaan kami, saya benar-benar
melihat ibu yang begitu bahagia, bahkan saat dalam perjalanan menuju bandung
kami sempat mampir ke sebuah restaurant,dan kalian tau saat itu ibuku tidak
memesan makanan, dia sibuk memandangiku dengan tatapan bahagia, dia bilang
selera makan ibu sudah hilang karena ibu terlalu bahagia,gak percaya kalau ibu
sekarang lagi bareng sama kamu. Saya pun saat itu menjanjikan pada ibu kalau
saya akan mengajak ibu jalan-jalan seperti ini lagi, mendengar janji saya itu
ibuku tersenyum bahagia penuh harap. Namun karena terlalu larut dengan
kesibukan saya, ternyata sayapun melupakan janji saya sama ibu dan kembali
membiarkan ibu berlama-lama dalam kesendirian hingga akhirnya bagai disambar
petir saat tiba-tiba saya mendapat telpon dari pembantu setia ibu kalau ibu
meninggal saat sedang sujud waktu sholat shubuh.
Tanpa
disadari air matapun kembali mengalir dari mata mas bani, setelah menyeka air
matanya dan menarik napas panjang, mas bani melanjutkan ceritanya, dan kalian
tau, 2 hari setelah kematian ibu, datang seseorang pegawai dari sebuah biro
wisata, dia bilang kalau 3 hari lalu berarti sehari sebelum ibuku meninggal
beliau datang memesan paket wisata ke Bandung 3 hari untukku dan istriku, dan
dia pun menitipkan surat kepadaku, kemudian mas bani menyerahkan surat dari
ibunya itu kepadaku untuk kubaca, saya pun membacanya dengan bersuara.
“Bani
anakku, sungguh ibu bahagia sekali saat kamu mengajak ibu jalan-jalan tahun
lalu, tiada kebahagiaan yang terbaik buat ibu kecuali ibu bisa menikmati
hari-hari bergembira bersama kamu, juga bersama istri dan anakmu, anak ku,
tahukah kamu, ibu sangat bangga terhadap kamu, tidak sia-sia ibu membesarkan
kamu, ternyata kamu bisa menjadi orang yang bemanfaat buat banyak orang, setiap
sehabis kamu telpon dan kamu cerita petualangan kamu keliling dunia membantu
banyak orang, ibu selalu menceritakan kembali cerita itu dengan bangga kepada
para tetangga dan ibu-ibu pengajian, dan tau kah kamu mereka begitu senang
mendengarnya dan begitu iri sama ibu,apalagi saat kamu mengajak ibu
berlibur,itulah hari yang paling membahagiakan buat ibu.
Ibu
senang kamu mengirimi uang tiap bulan pada ibu, itu menunjukkan betapa kamu
adalah anak yang tau balas budi dan berbakti pada ibumu, tapi bukan lah materi
yang ibu inginkan, ibu hanya ingin melihatmu bahagia, makanya kenapa ibu tak
pernah mau sengaja menghubungimu terlebih dahulu serindu apapun ibu
kepadamu,karena ibu takut mengganggumu,dan saat kamu menghubungi ibu itulah
saat yang paling ibu tunggu walaupun hanya sebulan sekali,melihat kamu bahagia
dan bisa menceritakan dirimu dengan sedikit kebanggaan itu sudah sangat cukup
buat ibu.
Uang
setiap bulan kamu kirimkan tidak sepeserpun ibu gunakan,karena uang pensiun ibu
pun masih cukup untuk menghidupi ibu, uang itu sengaja ibu kumpulkan dan ibu
belikan sawah serta ibu buatkan rumah penggilingan padi, bukan apa-apa bila
suatu saat nanti kamu sudah tidak bisa lagi meneruskan pekerjaanmu yang
sekarang kamu tidak menganggur dan tidak kekurangan biaya untuk istri dan
anak-anakmu, sekarang sawah dan rumah penggilingan padi itu di urus sama anak
nya mbok iyem pembantu setia kita.
Anakku,
ibu menunggu-nunggu saat kamu mengajak ibu kembali jalan-jalan dan berlibur
bersama seperti yang kamu janjikan, namun ibu sungguh tau kalau ibu tak akan
pernah mendapatkan kesempatan itu lagi karena ibu tau kalau basok Allah akan
menjemput ibu. Dan saat kamu bilang saat itu ingin mengajak ibu berlibur lagi, ibu sudah berjanji pada diri
ibu sendiri kalau nanti biar ibu yang menanggung biayanya, biar ibu merasakan
lagi walaupun hanya sekali ibu memberi nafkah dan masih bisa berguna untuk
anakku, maka dari itu ibu belikan paket liburan ini untukmu bersama istrimu sebagai
pengganti ibu.
Semoga
Allah selalu menjaga dirimu dan keluargamu, serta selalu melimpahkan kasih
sayang –Nya untukmu dan keluargamu.”
Saya
sungguh tak kuasa menahan air mata jatuh mengalir basahi wajah ini, bahkan si
pandir orang yang super slengean itu pun menangis sesegukan. Saya sadar selama
ini saya salah besar, berpikir bahwa orang tua saya membutuhkan balas budi, dan
saya selalu berpikir ingin membahagiakan mereka dengan materi untuk membayar
atas semua biaya yang telah mereka keluarkan buat saya, padahal sampai kapanpun
saya tak akan pernah mampu membalasnya. Dan saya akhirnya sadar bila ternyata
bukan materi yang orang tua butuhkan, tetapi melihat anaknya bahagia, mungkin
hanya sedikit berharap suatu saat bisa membanggakan anaknya pada saudara,
tetangga dan teman-temannya.
Saya
teringat sebuah sya’ir tentang ibu berikut ini :
BALAS BUDI UNTUK IBU
Ketika
usiamu 1 tahun, ia menyuapi dan memandikanmu
Kau
membalasnya dengan menangis sepanjang malam
Ketika
usiamu 2 tahun, ia mengajarimu melangahkan kaki
Kau
membalasnya dengan lari menjauh kala dia memanggilmu
Ketika
usiamu 3 tahun, ia menyiapkan sarapanmu dengan segala cinta kasih
Kau
membaasnya dengan membanting piring di lantai
Ketika
usiamu 4 tahun, ia memberimu seperangkat krayon
Kau
membalasnya dengan mencorat-coret meja makan
Ketika
usiamu 5 tahun, ia mengenakanmu pakaian untuk berlibur
Kau
membalasnya dengan bermain-main di onggokan lumpur
Ketika
usiamu 6 tahun, ia mengantarkanmu ke sekolah
Kau
membalasnya dengan berteriak : “AKU NGGAK MAU SEKOLAH!”
Ketika
usiamu 7 tahun, ia menghadiahimu bola sepak
Kau
membalasnya dengan melemparkannya ke jendela tetangga sebelah
Ketika
usiamu 8 tahun, ia memberimu es krim
Kau
membalasnya dengan menciprat-cipratkannya di sekujur badanmu
Ketika
usiamu 9 tahun, ia memanggilkanmu guru les piano
Kau
membalasnya dengan bermalas-malasan untuk berlatih
Ketika
usiamu 10 tahun, ia mengantarmu sepanjang hari, Dari main bola hingga senam,
dari satu pesta ulang tahun ke pesta ulang tahun lainnya
Kau
membalasnya dengan melompat dari mobil dengan secepat kilat tanpa menengok lagi
Ketika
usiamu 11 tahun, ia membawamu dan teman-temanmu nonton film
Kau
membalasnya dengan memintanya duduk di barisan lain
Ketika
usiamu 12 tahun, ia menegurmu untuk tidak menonton acara TV tertentu
Kau
membalasnya dengan menunggunya hingga ia bepergian
Ketika
usiamu 13 tahun, ia memintamu memotong rambut baru
Kau
membalasnya dengan mengatakan bahwa ia tiadak punya selera
Ketika
usiamu 14 tahun, ia membayarkanmu ongkos untuk 1 bulan berlibur
Kau
membalasnya dengan tak sekalipun mengiriminya kabar
Ketika
usiamu 15 tahun, ia pulang bekerja, dan mengharap mendapatkan pelukanmu
Kau
membalasnya dengan mengunci kamar tidurmu
Ketika
usiamu 16 tahun, ia mengajarimu mengendarai mobil
Kau
membalasnya dengan mencuri-curi tiap kesempatan
Ketika
usiamu 17 tahun, ia mengharapkan telepon penting
Kau
membalasnya dengan menggunakan telepon sepanjang malam
Ketika
usiamu 18 tahun, ia menangis di hari kelulusan sekolahmu
Kau
membalasnya dengan pergi berpesta sampai pagi
Ketika
usiamu 19 tahun, ia membayarkan uang SPP perguruan tinggimu, dan mengantarmu
membawakan tas ke kampus.
Kau
membalasnya dengan mengucapkan selamat tinggal di pintu gerbang asrama agar
tidak merasa malu pada teman-teman
Ketika
usiamu 20 tahun, ia bertanya apakah kamu telah menaksir seseorang
Kau
membalasnya dengan mengatakan “itu bukan urusanmu.”
Ketika
usiamu 21 tahun, ia mengusulkan satu pekerjaan untuk karir masa depanmu.
Kau
membalasnya dengan mengatakan “aku tak ingin seperti kamu.”
Ketika
usiamu 22 tahun, ia memelukmu di hariwisudamu
Kau
membalasnya dengan meminta ditraktir liburan ke Eropa
Ketika
usiamu 23 tahun, ia menghadiahimu furnitur untuk apartemen pertamamu
Kau
membalasnya dengan menyebut furnitur itu kepada teman-temanmu sebagai barang
rongsokan
Ketika
usiamu 24 tahun, ia menjumpai tunanganmu dan menanyakan rencana masa depanmu
Kau
membalasnya dengan mengatakan “Uuuuhhh, Ibuuu...!”
Ketika
usiamu 25 tahun, ia membantu membiayai pesta perkawinanmu, dan ia menangis
haru, dan ia mengatakan betapa ia mencintaimu.
Kau
membalasnya dengan pindah kota menjauhinya
Ketika
usiamu 30 tahun, ia menelpon dan memberimu nasihat tentang bayimu.
Kau
membalasnya dengan mengguruinya “Semua kini sudah berbeda.”
Ketika
usiamu 40 tahun, ia menelpon dan mengingatkan hari ulang tahun familimu
Kau
membalasnya dengan mengatakan “Ahhh, betapa sibuknya aku sekarang”
Ketika
usiamu 50 tahun, ia sakit-sakitan dan membutuhkanmu untuk menjagainya
Kau
membalasnya dengan membacakan kisah betapa merepotkannya orang tua bagi
anak-anaknya
Sampai
suatu hari ia pergi untuk selamanya. Dan segala yang tak pernah kau bayangkan
sebelumnya, bagai halilintar menyambar JANTUNGMU.
"Dan Tuhanmu telah
memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu
berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di
antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu,
maka sekali- kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan
dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka
berdua telah mendidik aku waktu kecil”. (Al Isra’: 23-24)
“Duhai
tuhan ampunilah segala dosa ibu dan bapak ku, dan sayangilah mereka sebagaimana
mereka menyayangiku dari sejak aku kecil, dan jadikanlah aku seorang anak yang
berbakti dan tau berterimakasih”
Pertapaan
Aster 81
Jum’at
Dini Hari
30
November 2012