Selasa, 20 Maret 2012

PENYADARAN JIWA



             
Tiga hari saya tergeletak lemah tak berdaya, berawal dari terserang radang tenggorokan hebat yang kebetulan sedang mewabah yang kemudian menyebabkan terserang gejala typus, tiga hari yang membuat saya bahkan tak mampu beribadah dengan sempurna, jangankan asupan makanan bahkan airpun tak mampu kutelan, saya nikmati saja semua rasa sakitku itu, saya rasakan sebagai sebuah sensasi, ajaibnya karena saya menikmati setiap rasa sakit dan kepayahan yang saya rasakan saat itu, tubuh saya memproduksi hormon beta endorphin terus-menerus yang membuat sistem imunitas tubuh saya menguat, akhirnya sayapun sembuh di hari ke empat tanpa makan, tanpa minum apalagi obat-obatan.
Cerita di atas hanya sekedar intermezo, dimana saya benar-benar membuktikan teori yang saya temukan bahwa ternyata SYUKUR bisa mengobati apapun termasuk mengobati penyakit medis sekalipun. Bukan itu sebenarnya yang saya ingin ceritakan, di malam terakhir saya sakit, seorang sahabat berkunjung dan menengok saya, ajaibnya tidak seperti kebanyakan orang yang menengok dengan membawakan berbagai jenis makanan yang tentu saja tidak mungkin bisa kumakan dan kunikmati saat itu, dia membawakanku oleh-oleh untuk santapan ruhaniku yang dapat memulihkan kesehatan jiwaku, salah satu diantaranya ada buku yang dia susun sendiri yang berisi salinan-salinan ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits yang dia temukan dalam perjalanannya kembali menuju cahaya.
Dalam buku itu saya mendapatkan sebuah cerita yang disabdakan Sang Nabi, cerita ini benar-benar telah mampu membuat seluruh jiwa dan raga saya bergetar, dimensi kesadaranku tersentak, kesombongankupun tercabik dan terkoyak, demi menyadari betapa begitu hina dan nista kedudukan saya di sisi Allah, betapa tak ada sedikitpun kebaikan yang mampu mengantarkanku untuk bisa diterima oleh-Nya, betapa banyak dosa-dosa yang pasti akan menghempaskanku ke jurang neraka terdalam. Berikut saya tulis dan salin kembali redaksi cerita Sang Nabi itu :
Jama’ah ulama merafa’kan hadits ini kepada khalid bin ma’dan,kemudian berkata kepada mu’adz bin jabal
“Ceritakanlah kepadaku sebuah hadits yang kamu dengar dari Rasulullaah SAW. yang telah kamu hafal dan kamu mengingatnya setiap hari dari waktu ke waktu, dan menceritakannya kepada yang lain karena sangat kerasnya hadits tersebut dan sangat halus serta dalamnya makna ungkapannya. Hadits manakah yang engkau anggap sebagai hadits terpenting?”
Mu’adz menjawab, “Baiklah akan aku ceritakan...” Tiba-tiba Mu’adz menangis tersedu-sedu. Lama sekali tangisannya itu, hingga beberapa saat kemudian baru terdiam. Beliau kemudian berkata, “Emh, sungguh aku rindu sekali kepada Rasulullaah. Ingin sekali aku bersua dengan beliau...” kemudian Mu’adz melanjutkan:
Suatu hari ketika aku menghadap Rasulullaah SAW. yang suci, saat itu beliau tengah menunggangi untanya. Nabi kemudian menyuruhku untuk turut naik bersama beliau di belakangnya. Aku pun menaiki unta tersebut di belakang beliau. Kemudian aku melihat Rasulullaah menengadah ke langit dan bersabda, “Segala kesyukuran hanyalah diperuntukkan bagi Allaah yang telah menetapkan kepada setiap ciptaan-Nya apa-apa yang Dia kehendaki. Wahai Mu’adz... ! Labaik, wahai penghulu para rasul...!
Akan aku ceritakan kepadamu sebuah kisah, yang apabila engkau menjaganya baik-baik, maka hal itu akan memberikan manfaat bagimu. Namun sebaliknya, apabila engkau mengabaikannya,maka terputuslah hujjahmu di sisi Allaah Azza wa Jalla...!
Wahai Mu’adz... sesungguhnya Allaah Yang Maha Memberkati dan Maha Tinggi telah menciptakan malaikat sebelum Dia menciptakan petala langit dan bumi. Pada setiap langit terdapat satu malaikat penjaga pintunya, dan menjadikan penjaga dari tiap pintu tersebut satu malaikat yang kadarnya disesuaikan dengan keagungan dari tiap tingkatan langitnya.
Suatu hari naiklah malaikat Hafadzah dengan amalan seorang hamba yang amalan tersebut memancarkan cahaya dan bersinar bagaikan matahari. Hingga sampailah amalan tersebut ke langit dunia (as-samaa’l d-dunya) yaitu sampai ke dalam jiwanya. Malaikat Hafadzah kemudian memperbanyak amal tersebut dan mensucikannya.
Namun tatkala sampai pada pintu langit pertama, tiba-tiba malaikat penjaga pintu tersebut berkata, “Tamparlah wajah pemilik amal ini dengan amalannya tersebut!! Aku adalah pemilik ghibah... Rabb pemeliharaku memerintahkan kepadaku untuk mencegah setiap hamba yang telah berbuat ghibah diantara manusia-membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan orang lain yang apabila orang itu mengetahuinya, dia tidak suka mendengarnya- untuk dapat melewati pintu pertama ini...!!
Kemudian keesokan harinya malaikat Hafadzah naik ke langit beserta amal shalih lainnya. Amal tersebut bercahaya yang cahayanya terus diperbanyak oleh Hafadzah dan disucikannya, hingga akhirnya menembus ke langit kedua. Namun malaikat penjaga pintu langit kedua tiba-tiba berkata, “Berhenti kalian...! Tamparlah wajah pemilik amal tersebut dengan amalannya itu! Sesungguhnya dia beramal namun dibalik amalannya itu dia menginginkan penampilan dan kehidupan duniawi belaka (‘arodla d-dunya). Robb pemeliharaku memerintahkan kepadaku untuk tidak membiarkan amalan si hamba yang berbuat itu melewati langit kedua ini menuju langit berikutnya!” Mendengar itu semua, para malaikat pun melaknati si hamba tersebut hingga petang harinya.
Malaikat Hafadzah lainnya naik bersama amalan sang hamba yang nampak indah, yang di dalamnya terdapat shodaqoh, shaum-shaumnya serta perbuatan baiknya yang melimpah. Malaikat Hafadzah pun memperbanyak amal tersebut dan mensucikannya hingga dapat menembus langit pertama dan kedua. Namun ketika sampai di pintu langit ketiga, tiba-tiba malaikat penjaga pintu langit tersebut berkata, “Berhentilah kalian...! Tamparkanlah wajah pemilik amalan tersebut dengan amalan-amalannya itu! Aku adalah penjaga al-Kibr (sifat sombong dan takabur). Rabb pemeliharaku memerintahkan kepadaku unuk tidak membiarkan amalannya melewatiku, karena selama ini dia selalu bertakabur di hadapan manusia ketika berkumpul dalam setiap majelis pertemuan mereka...”
Malaikat Hafadzah lainnya naik ke langit demi langit dengan membawa amalan yang tampak berkilauan bagaikan kerlip bintang gemintang dan planet. Suaranya tampak bergema dan tasbihnya bergaung disebabkan oleh ibadah shaum, haji, shalat, haji dan umrah, hingga tampak menembus tiga langit pertama dan sampai ke pintu langit keempat. Naun malaikat penjaga pintu tersebut berkata, “berhentilah kalian...! dan tamparkan dengan dengan amalan-amalan tersebut ke wajah pemiliknya...! aku adalah malaikat penjaga sifat ‘Ujub (takjub akan keadaan dirinya dan jiwanya sendiri). Rabb pemeliharaku memerintahkan kepadaku agar tidak membiarkan amalannya melewatiku hingga menembus langit sesudahku. Dia selalu memasukkan unsur ‘ujub di dalam jiwanya ketika melakukan suatu perbuatan...!”
Malaikat Hafadzah lainnya naik bersama amalan seorang hamba yang diiring bagaikan iringan pengantin wanita menuju suaminya. Hingga sampailah amalan tersebut menembus langit kelima dengan amalannya yang baik berupa jihad, haji dan umrah. Amalan tersebut memilki cahaya bagaikan sinar matahari. Namun sesampainya di pintu langit kelima tersebut, berkatalah sang malaikat penjaga pintu, “Saya adalah sang pemilik sifat hasad (dengki). Dia telah berbuat dengki kepada manusia ketika dia diberi karunia oleh Allah. Dia marah terhadap apa-apa yang telah Allaah ridlai dalam ketetapan-Nya. Rabb Pemeliharaku memerintahkan aku untuk tidak membiarkan amal tersebut melewatiku menuju langit berikutnya...!
Malaikat Hafadzah lainnya naik dengan amalan seorang hamba berupa wudlu yang sempurna, shalat yang banyak,shaum-shaumnya, haji dan umrah hingga sampailah ke langit yang keenam. Namun malaikat penjaga pintu langit keenam berkata, “Saya adalah pemilik ar-rahmat (kasih sayang). Tamparkanlah amalan si hamba tersebut ke wajah pemiliknya. Dia tidak memiliki sifat rahmaniah sama sekali di hadapan manusia. Dia malah merasa senang ketika melihat musibah menimpa hamba lainnya. Rabb Pemeliharaku memerintahkanku untuk tidak membiarkan amalannya melewatiku menuju langit berikutnya...!
Naiklah Malaikat Hafadzah lainnya bersama amalan seorang hamba berupa nafkah yang berlimpah, shaum, shalat, jihad dan sifat wara’ (berhati-hati dalam beramal). Amalan tersebut bergemuruh bagaikan guntur dan bersinar bagaikan kilatan petir. Namun ketika sampai pada langit ketujuh, berhentilah amalan tersebut di hadapan malaikat penjaga pintunya. Malaikat itu berkata, “saya adalah pemilik sebutan (adz-dzikru) atau sunnah (mencintai kemahsyuran) di antara manusia. Sesungguhnya pemilik amal ini berbuat sesuatu karena menginginkan sebutan kebaikan amal perbuatannya di dalam setiap pertemuan. Ingin langsung disanjung di antara kawan-kawannya dan mendapat kehormatan di antara para pembesar. Rabb Pemeliharaku memerintahkan aku untuk tidak membiarkan amalannya menembus melewati pintu lngit ini menuju langit sesudahnya. Dan setiap amal yang tidak diperuntukkan bagi Allaah ta’ala secara ikhlas, maka dia telah berbuat riya’,dan Allah Azza wa Jalla tidak menerima amalan seseorang yang diiringi dengan riya’ tersebut...!
Dan malaikat Hafadzah lainnya naik beserta amalan seorang hamba berupa shalat, zakat, shaum demi shaum, haji, umrah, akhlak yang berbuahkan hasanah, berdiam diri, berdzikir kepada Allah Ta’ala, maka seluruh malaikat di tujuh langit dan bumi tersebut beriringan menyertainya hingg terputuslah seluruh hijab dalam menuju Allah Subhanahuwata’ala. Mereka berhenti di hadapan Rabb yang keagungan-Nya (sifat Jalal-Nya) bertajalli. Dan para malaikat tersebut menyaksikan amal yang shalih yang diikhlaskannya hanya untuk Allaah Ta’ala. Namun tanpa disangka Allah berfirman, ‘Kalian adalah malaikat Hafadzah yang menjaga amal-amal hamba-Ku, dan Aku adalah Sang Pengawas, yang memiliki kemampuan dalam mengamati apa-apa yang ada di dalam jiwanya. Sesungguhnya dengan amalannya itu, sebenarnya dia tidak menginginkan Aku, dia menginginkan selain Aku...! dia tidak mengikhlaskan amalannya bagi-Ku. Dan Aku Maha mengetahui terhadap apa yang  dia inginkan dri amalannya tersebut. Laknat-Ku bagi dia yang telah menipu makhluk lainnya dan kalian semua, namun Aku sama sekali tidak tertipu olehnya. Dan Aku adalah Yang Maha Mengetahui segala yang ghaib. Yang memunculkan apa-apa yang tersimpan i dalam kalbu-kalbu. Tidak ada satu pun di hadapan-Ku yang tersembunyi. Dan tidak ada satu pu di hadapan-Ku terhadap yang tersamar... Pengetahuan-Ku terhadap apa-apa yang telah terjadi sama dengan pengetahuan-Ku terhadap apa-apa yang belum terjadi. Pengetahuanku terhadap apa-apa yang telah berlalu sama dengan pengetahuan-Ku terhadap yang akan datang. Dan pengetahuan-Ku terhadap segala sesuatu yang awal sebagaimana pengetahuan-Ku terhadap segala yang akhir. Aku lebih mengetahui sesuatu yang rahasia dan tersembunyi. Bagaimana mungkin hamba-Ku menipuku dengan ilmunya. Sesungguhnya dia hanyalah menipu para makhluk yang tidak memiliki pengetahuan, dan aku Maha Mengetahui segala yang ghaib. Baginya laknat-Ku...’!!
Mendengar itu semua maka berkatalah para malaikat penjaga tujuh langit beserta tiga ribu pengiringnya, ‘Wahai Rabb Pemelihara kami, baginya laknat-Mu dan laknat kami. Dan berkatalah seluruh petala langit, ‘Laknat allah baginya dan laknat mereka yang melaknat buat sang hamba itu...’!”
Mendengar penuturan Rasulullaah SAW. sedemikian rupa, tiba-tiba menangislah Mu’ad Rahimahullaah, dengan isak tangisnya yang cukup keras... Lama baru terdiam kemudian dia berkata dengan lirihnya, “Wahai Rasulullaah... Bagaimana bisa aku selamat dari apa-apa yang telah engkau ceritakan tadi...??” Rasulullaah SAW. bersabda, “ Oleh karena itu wahai Mu’adz... Ikutilah Nabimu di dalam sebuah keyakinan...”
Dengan suara yang bergetar Mu’adz berkata, “Engkau adalah Rasul Allaah, dan aku hanyalah seorang Mu’adz bin Jabal... Bagaimana aku bisa selamat dan lolos dari itu semua...??”
Nabi yang suci bersabda, “Baiklah wahai Mu’adz, apabila engkaumerasa kurang sempurna dalam melakukan semua amalanmu itu, maka cegahlah lidahmu dari ucapan ghibah dan fitnah terhadap sesama manusia, khususnya terhadap saudara-saudaramu yang sama-sama memegang Al-Qur’an. Apabila engkau hendak berbuat ghibah atau memfitnah orang lain, haruslah ingat kepada pertanggungjawabanmu sendiri, sebagaimana engkau telah mengetahui bahwa dalam jiwamu pun penuh aib-aib. Janganlah engkau mensucikan jiwamu dengan cara menjelek-jelekkan orang lain. Jangan engkau angkat derajatmu dengan cara menekan orang lain. Janganlah tenggelam di dalam memasuki urusan dunia sehingga hal itu melupakan urusan akhiratmu. Dan janganlah engkau berbisik-bisik dengan seseorang, padahal di sebelahmu terdapat orang lain yang tidak diikutsertakan. Jangan merasa dirimu agung dan terhormat di hadapan manusia, karena hal itu akan membuat habis terputus kebaikan-kebaikanmu di dunia dan akhirat. Janganlah berbuat keji di dalam majelis pertemuanmu sehingga akibatnya mereka akan menjauhimu karena buruknya akhlakmu. Janganlah engkau ungkit-ungkit kebaikanmu di hadapan orang lain. Janganlah engkau robek orang-orang dengan lidahmu yang akibatnya engkaupun akan dirobek-robek oleh anjing-anjing jahanam, sebagaimana firman-Nya Ta’ala, “Demi yang merobek-robek dengan merobek yang sebenar-benarnya...” (QS. An-Naaziyat [79] : 2) Di neraka itu, daging akan dirobek hingga mencapai tulang...”
Mendengar penuturan Nabi sedemikian itu, Mu’adz kembali bertanya dengan suaranya yang semakin lirih, “Wahai Rasulullaah, siapa sebenarnya yang akan mampu melakukan itu semua...??”
“Wahai Mu’adz...! Sebenarnya apa-apa yang telah aku paparkan tadi dengan segala penjelasannya serta cara-cara menghindari bahayanya itu semua akan sangat mudah bagi dia yang dimudahkan oleh Allah Ta’ala... oleh karena itu cukuplah bagimu mencintai sesama manusia, sebagaimana engkau mencintai jiwamu sendiri, dan engkau membenci mereka sebagaimana jiwamu membencinya. Dengan itu semua niscaya engkau akan mampu dan selamat dalam menempuhnya...!!”
Khalid bin Ma’dan kemudian berkata bahwa Mu’adz bin Jabal sangat sering membaca hadits tersebut sebagaimana seringnya beliau membaca Al-Qur’an, dan sering mempelajarinya serta menjaganya sebagaimana beliau mempelajari dan menjaga Al-Qur’an di dalam majelis pertemuannya.

Al-Ghazali Rahimahullaah kemudian berkata, “Setelah kalian mendengar hadits yang sedemikian luhur beritanya, sedemikian besar bahayanya, atsarnya yang sungguh menggetarkan, serasa akan terbang bila hati mendengarnya serta meresahkan dan menyempitkan dada yang kini penuh dengan huru-hara yang mencekam. Kalian harus berlindung kepada Rabb mu, Pemelihara Seru Sekalian Alam. Berdiam diri di ujung sebuah pintu taubat, mudah-mudahan kalbumu akan dibuka oleh Allah dengan lemah lembut, merendahkan diri dan berdo’a, menjerit dan menangis semalaman. Juga di siang hari bersama orang-orang yang merendahkan diri, yang menjerit dan berdo’a kepada Allaah Ta’ala. Sebab itu semua adalah sebuah persoalan besar dalam hidupmu yang kalian tidak akan selamat darinya melainkan disebabkan atas pertolongan dan rahmat Allah Ta’ala semata.”
Lalu adakah sesuatu yang membuat kita layak dan mampu mendapatkan penyambutan terbaik dari Allah, sementara semua dosa yang membentengi kita untuk bisa sampai pada-Nya kita miliki, kita lakukan dan tumbuh begitu shubur dalam hati, diri dan perilaku kita sehari-hari? Lalu masih adakah kesombongan dalam hati kita sehingga kita merasa layak mengaku diri sebagai hamba yang sholeh yang paling pantas menerima cinta dan penerimaan dari Allah SWT.? Seandainya bukan karena kasih sayang Dia,sungguh bahkan harum syurgapun tak pernah layak untuk kita cium.
Teringat Firman Tuhan dalam kitab suci yang setiap waktu aku dawamkan, karena ayat-ayat tersebut selalu menjadi cambuk yang mengingatkan saya kembali disaat saya merasa lemah, merasa lalai, merasa lelah dan mulai berputus asa :

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah juga membuat mereka lupa pada diri mereka sendiri, mereka itulah orang-orang yang fasik.
Tiada sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni syurga; penghuni-penghuni syurga itulah orang-orang yang beruntung.
Kalau sekiranya kami menurunkan al-Qur’an ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah, dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami Buat untuk supaya mereka berpikir.
Dia-lah Allah tiada Tuhan selain Dia, Yang mengetahui hal yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Dia-lah Allah tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Maha Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.
Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Nama-nama yang Paling Baik, Bertasbih kepada-Nya apa yang ada di langit dan di bumi. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
(Al-Hasyr [59]:18-24)

Pertapaan Aster 81. Februari 2012


SEBUAH PENGAKUAN
(AL-I’tirof)

Tuhanku... aku tidak layak memasuki syurga Firdaus
Dan aku pun tak mampu menahan siksa api Neraka
Terimalah taubatku dan ampunilah dosa-dosaku
Sesungguhnya Engkaulah Pengampun dosa-dosa besar
Dosa-dosaku amatlah banyak bagai butiran pasir
Terimalah taubatku, wahai Yang Maha Agung
Umurku berkurang setiap hari, sedang dosa-dosaku terus bertambah
Bagaimana aku sanggup menanggungnya?
Tuhanku... hamba-Mu yang durhaka ini datang bersimpuh menghadap-Mu
Mengakui dosa-dosa dan menyeru memohon kepada-Mu
Bila Kau mengampuni, Engkaulah Sang Pemilik Ampunan
Bila Kau campakkan aku, kepada siapa aku mesti berharap selain dari-Mu?

-‘ABU NAWAS’-