Tiga hari saya tergeletak lemah
tak berdaya, berawal dari terserang radang tenggorokan hebat yang kebetulan
sedang mewabah yang kemudian menyebabkan terserang gejala typus, tiga hari yang
membuat saya bahkan tak mampu beribadah dengan sempurna, jangankan asupan
makanan bahkan airpun tak mampu kutelan, saya nikmati saja semua rasa sakitku
itu, saya rasakan sebagai sebuah sensasi, ajaibnya karena saya menikmati setiap
rasa sakit dan kepayahan yang saya rasakan saat itu, tubuh saya memproduksi
hormon beta endorphin terus-menerus yang membuat sistem imunitas tubuh saya
menguat, akhirnya sayapun sembuh di hari ke empat tanpa makan, tanpa minum
apalagi obat-obatan.
Cerita di atas hanya sekedar
intermezo, dimana saya benar-benar membuktikan teori yang saya temukan bahwa
ternyata SYUKUR bisa mengobati
apapun termasuk mengobati penyakit medis sekalipun. Bukan itu sebenarnya yang
saya ingin ceritakan, di malam terakhir saya sakit, seorang sahabat berkunjung
dan menengok saya, ajaibnya tidak seperti kebanyakan orang yang menengok dengan
membawakan berbagai jenis makanan yang tentu saja tidak mungkin bisa kumakan
dan kunikmati saat itu, dia membawakanku oleh-oleh untuk santapan ruhaniku yang
dapat memulihkan kesehatan jiwaku, salah satu diantaranya ada buku yang dia
susun sendiri yang berisi salinan-salinan ayat Al-Qur’an dan Al-Hadits yang dia
temukan dalam perjalanannya kembali menuju cahaya.
Dalam buku itu saya mendapatkan
sebuah cerita yang disabdakan Sang Nabi, cerita ini benar-benar telah mampu
membuat seluruh jiwa dan raga saya bergetar, dimensi kesadaranku tersentak,
kesombongankupun tercabik dan terkoyak, demi menyadari betapa begitu hina dan
nista kedudukan saya di sisi Allah, betapa tak ada sedikitpun kebaikan yang
mampu mengantarkanku untuk bisa diterima oleh-Nya, betapa banyak dosa-dosa yang
pasti akan menghempaskanku ke jurang neraka terdalam. Berikut saya tulis dan
salin kembali redaksi cerita Sang Nabi itu :
Jama’ah ulama merafa’kan hadits
ini kepada khalid bin ma’dan,kemudian berkata kepada mu’adz bin jabal
“Ceritakanlah kepadaku sebuah
hadits yang kamu dengar dari Rasulullaah SAW. yang telah kamu hafal dan kamu
mengingatnya setiap hari dari waktu ke waktu, dan menceritakannya kepada yang
lain karena sangat kerasnya hadits tersebut dan sangat halus serta dalamnya
makna ungkapannya. Hadits manakah yang engkau anggap sebagai hadits
terpenting?”
Mu’adz menjawab, “Baiklah akan
aku ceritakan...” Tiba-tiba Mu’adz menangis tersedu-sedu. Lama sekali
tangisannya itu, hingga beberapa saat kemudian baru terdiam. Beliau kemudian
berkata, “Emh, sungguh aku rindu sekali kepada Rasulullaah. Ingin sekali aku
bersua dengan beliau...” kemudian Mu’adz melanjutkan:
Suatu hari ketika aku menghadap
Rasulullaah SAW. yang suci, saat itu beliau tengah menunggangi untanya. Nabi
kemudian menyuruhku untuk turut naik bersama beliau di belakangnya. Aku pun
menaiki unta tersebut di belakang beliau. Kemudian aku melihat Rasulullaah
menengadah ke langit dan bersabda, “Segala kesyukuran hanyalah diperuntukkan
bagi Allaah yang telah menetapkan kepada setiap ciptaan-Nya apa-apa yang Dia
kehendaki. Wahai Mu’adz... ! Labaik, wahai penghulu para rasul...!
Akan aku ceritakan kepadamu
sebuah kisah, yang apabila engkau menjaganya baik-baik, maka hal itu akan
memberikan manfaat bagimu. Namun sebaliknya, apabila engkau mengabaikannya,maka
terputuslah hujjahmu di sisi Allaah Azza wa Jalla...!
Wahai Mu’adz... sesungguhnya
Allaah Yang Maha Memberkati dan Maha Tinggi telah menciptakan malaikat sebelum
Dia menciptakan petala langit dan bumi. Pada setiap langit terdapat satu malaikat
penjaga pintunya, dan menjadikan penjaga dari tiap pintu tersebut satu malaikat
yang kadarnya disesuaikan dengan keagungan dari tiap tingkatan langitnya.
Suatu hari naiklah malaikat
Hafadzah dengan amalan seorang hamba yang amalan tersebut memancarkan cahaya
dan bersinar bagaikan matahari. Hingga sampailah amalan tersebut ke langit
dunia (as-samaa’l d-dunya) yaitu sampai ke dalam jiwanya. Malaikat Hafadzah
kemudian memperbanyak amal tersebut dan mensucikannya.
Namun tatkala sampai pada pintu
langit pertama, tiba-tiba malaikat penjaga pintu tersebut berkata, “Tamparlah
wajah pemilik amal ini dengan amalannya tersebut!! Aku adalah pemilik ghibah...
Rabb pemeliharaku memerintahkan kepadaku untuk mencegah setiap hamba yang telah
berbuat ghibah diantara manusia-membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan
orang lain yang apabila orang itu mengetahuinya, dia tidak suka mendengarnya-
untuk dapat melewati pintu pertama ini...!!
Kemudian keesokan harinya
malaikat Hafadzah naik ke langit beserta amal shalih lainnya. Amal tersebut
bercahaya yang cahayanya terus diperbanyak oleh Hafadzah dan disucikannya,
hingga akhirnya menembus ke langit kedua. Namun malaikat penjaga pintu langit
kedua tiba-tiba berkata, “Berhenti kalian...! Tamparlah wajah pemilik amal
tersebut dengan amalannya itu! Sesungguhnya dia beramal namun dibalik amalannya
itu dia menginginkan penampilan dan kehidupan duniawi belaka (‘arodla d-dunya).
Robb pemeliharaku memerintahkan kepadaku untuk tidak membiarkan amalan si hamba
yang berbuat itu melewati langit kedua ini menuju langit berikutnya!” Mendengar
itu semua, para malaikat pun melaknati si hamba tersebut hingga petang harinya.
Malaikat Hafadzah lainnya naik
bersama amalan sang hamba yang nampak indah, yang di dalamnya terdapat
shodaqoh, shaum-shaumnya serta perbuatan baiknya yang melimpah. Malaikat
Hafadzah pun memperbanyak amal tersebut dan mensucikannya hingga dapat menembus
langit pertama dan kedua. Namun ketika sampai di pintu langit ketiga, tiba-tiba
malaikat penjaga pintu langit tersebut berkata, “Berhentilah kalian...!
Tamparkanlah wajah pemilik amalan tersebut dengan amalan-amalannya itu! Aku
adalah penjaga al-Kibr (sifat sombong dan takabur). Rabb pemeliharaku
memerintahkan kepadaku unuk tidak membiarkan amalannya melewatiku, karena
selama ini dia selalu bertakabur di hadapan manusia ketika berkumpul dalam
setiap majelis pertemuan mereka...”
Malaikat Hafadzah lainnya naik ke
langit demi langit dengan membawa amalan yang tampak berkilauan bagaikan kerlip
bintang gemintang dan planet. Suaranya tampak bergema dan tasbihnya bergaung
disebabkan oleh ibadah shaum, haji, shalat, haji dan umrah, hingga tampak
menembus tiga langit pertama dan sampai ke pintu langit keempat. Naun malaikat
penjaga pintu tersebut berkata, “berhentilah kalian...! dan tamparkan dengan
dengan amalan-amalan tersebut ke wajah pemiliknya...! aku adalah malaikat
penjaga sifat ‘Ujub (takjub akan keadaan dirinya dan jiwanya sendiri). Rabb
pemeliharaku memerintahkan kepadaku agar tidak membiarkan amalannya melewatiku
hingga menembus langit sesudahku. Dia selalu memasukkan unsur ‘ujub di dalam
jiwanya ketika melakukan suatu perbuatan...!”
Malaikat Hafadzah lainnya naik
bersama amalan seorang hamba yang diiring bagaikan iringan pengantin wanita
menuju suaminya. Hingga sampailah amalan tersebut menembus langit kelima dengan
amalannya yang baik berupa jihad, haji dan umrah. Amalan tersebut memilki
cahaya bagaikan sinar matahari. Namun sesampainya di pintu langit kelima
tersebut, berkatalah sang malaikat penjaga pintu, “Saya adalah sang pemilik
sifat hasad (dengki). Dia telah berbuat dengki kepada manusia ketika dia diberi
karunia oleh Allah. Dia marah terhadap apa-apa yang telah Allaah ridlai dalam
ketetapan-Nya. Rabb Pemeliharaku memerintahkan aku untuk tidak membiarkan amal
tersebut melewatiku menuju langit berikutnya...!
Malaikat Hafadzah lainnya naik
dengan amalan seorang hamba berupa wudlu yang sempurna, shalat yang
banyak,shaum-shaumnya, haji dan umrah hingga sampailah ke langit yang keenam.
Namun malaikat penjaga pintu langit keenam berkata, “Saya adalah pemilik
ar-rahmat (kasih sayang). Tamparkanlah amalan si hamba tersebut ke wajah
pemiliknya. Dia tidak memiliki sifat rahmaniah sama sekali di hadapan manusia.
Dia malah merasa senang ketika melihat musibah menimpa hamba lainnya. Rabb
Pemeliharaku memerintahkanku untuk tidak membiarkan amalannya melewatiku menuju
langit berikutnya...!
Naiklah Malaikat Hafadzah lainnya
bersama amalan seorang hamba berupa nafkah yang berlimpah, shaum, shalat, jihad
dan sifat wara’ (berhati-hati dalam beramal). Amalan tersebut bergemuruh
bagaikan guntur dan bersinar bagaikan kilatan petir. Namun ketika sampai pada
langit ketujuh, berhentilah amalan tersebut di hadapan malaikat penjaga
pintunya. Malaikat itu berkata, “saya adalah pemilik sebutan (adz-dzikru) atau
sunnah (mencintai kemahsyuran) di antara manusia. Sesungguhnya pemilik amal ini
berbuat sesuatu karena menginginkan sebutan kebaikan amal perbuatannya di dalam
setiap pertemuan. Ingin langsung disanjung di antara kawan-kawannya dan
mendapat kehormatan di antara para pembesar. Rabb Pemeliharaku memerintahkan
aku untuk tidak membiarkan amalannya menembus melewati pintu lngit ini menuju
langit sesudahnya. Dan setiap amal yang tidak diperuntukkan bagi Allaah ta’ala
secara ikhlas, maka dia telah berbuat riya’,dan Allah Azza wa Jalla tidak
menerima amalan seseorang yang diiringi dengan riya’ tersebut...!
Dan malaikat Hafadzah lainnya
naik beserta amalan seorang hamba berupa shalat, zakat, shaum demi shaum, haji,
umrah, akhlak yang berbuahkan hasanah, berdiam diri, berdzikir kepada Allah
Ta’ala, maka seluruh malaikat di tujuh langit dan bumi tersebut beriringan
menyertainya hingg terputuslah seluruh hijab dalam menuju Allah
Subhanahuwata’ala. Mereka berhenti di hadapan Rabb yang keagungan-Nya (sifat
Jalal-Nya) bertajalli. Dan para malaikat tersebut menyaksikan amal yang shalih
yang diikhlaskannya hanya untuk Allaah Ta’ala. Namun tanpa disangka Allah
berfirman, ‘Kalian adalah malaikat Hafadzah yang menjaga amal-amal hamba-Ku,
dan Aku adalah Sang Pengawas, yang memiliki kemampuan dalam mengamati apa-apa
yang ada di dalam jiwanya. Sesungguhnya dengan amalannya itu, sebenarnya dia
tidak menginginkan Aku, dia menginginkan selain Aku...! dia tidak mengikhlaskan
amalannya bagi-Ku. Dan Aku Maha mengetahui terhadap apa yang dia inginkan dri amalannya tersebut.
Laknat-Ku bagi dia yang telah menipu makhluk lainnya dan kalian semua, namun
Aku sama sekali tidak tertipu olehnya. Dan Aku adalah Yang Maha Mengetahui
segala yang ghaib. Yang memunculkan apa-apa yang tersimpan i dalam kalbu-kalbu.
Tidak ada satu pun di hadapan-Ku yang tersembunyi. Dan tidak ada satu pu di
hadapan-Ku terhadap yang tersamar... Pengetahuan-Ku terhadap apa-apa yang telah
terjadi sama dengan pengetahuan-Ku terhadap apa-apa yang belum terjadi. Pengetahuanku
terhadap apa-apa yang telah berlalu sama dengan pengetahuan-Ku terhadap yang
akan datang. Dan pengetahuan-Ku terhadap segala sesuatu yang awal sebagaimana
pengetahuan-Ku terhadap segala yang akhir. Aku lebih mengetahui sesuatu yang
rahasia dan tersembunyi. Bagaimana mungkin hamba-Ku menipuku dengan ilmunya.
Sesungguhnya dia hanyalah menipu para makhluk yang tidak memiliki pengetahuan,
dan aku Maha Mengetahui segala yang ghaib. Baginya laknat-Ku...’!!
Mendengar itu semua maka
berkatalah para malaikat penjaga tujuh langit beserta tiga ribu pengiringnya,
‘Wahai Rabb Pemelihara kami, baginya laknat-Mu dan laknat kami. Dan berkatalah
seluruh petala langit, ‘Laknat allah baginya dan laknat mereka yang melaknat
buat sang hamba itu...’!”
Mendengar penuturan Rasulullaah
SAW. sedemikian rupa, tiba-tiba menangislah Mu’ad Rahimahullaah, dengan isak
tangisnya yang cukup keras... Lama baru terdiam kemudian dia berkata dengan
lirihnya, “Wahai Rasulullaah... Bagaimana bisa aku selamat dari apa-apa yang
telah engkau ceritakan tadi...??” Rasulullaah SAW. bersabda, “ Oleh karena itu
wahai Mu’adz... Ikutilah Nabimu di dalam sebuah keyakinan...”
Dengan suara yang bergetar Mu’adz
berkata, “Engkau adalah Rasul Allaah, dan aku hanyalah seorang Mu’adz bin
Jabal... Bagaimana aku bisa selamat dan lolos dari itu semua...??”
Nabi yang suci bersabda, “Baiklah
wahai Mu’adz, apabila engkaumerasa kurang sempurna dalam melakukan semua
amalanmu itu, maka cegahlah lidahmu dari ucapan ghibah dan fitnah terhadap
sesama manusia, khususnya terhadap saudara-saudaramu yang sama-sama memegang
Al-Qur’an. Apabila engkau hendak berbuat ghibah atau memfitnah orang lain,
haruslah ingat kepada pertanggungjawabanmu sendiri, sebagaimana engkau telah
mengetahui bahwa dalam jiwamu pun penuh aib-aib. Janganlah engkau mensucikan
jiwamu dengan cara menjelek-jelekkan orang lain. Jangan engkau angkat derajatmu
dengan cara menekan orang lain. Janganlah tenggelam di dalam memasuki urusan
dunia sehingga hal itu melupakan urusan akhiratmu. Dan janganlah engkau berbisik-bisik
dengan seseorang, padahal di sebelahmu terdapat orang lain yang tidak
diikutsertakan. Jangan merasa dirimu agung dan terhormat di hadapan manusia,
karena hal itu akan membuat habis terputus kebaikan-kebaikanmu di dunia dan
akhirat. Janganlah berbuat keji di dalam majelis pertemuanmu sehingga akibatnya
mereka akan menjauhimu karena buruknya akhlakmu. Janganlah engkau ungkit-ungkit
kebaikanmu di hadapan orang lain. Janganlah engkau robek orang-orang dengan
lidahmu yang akibatnya engkaupun akan dirobek-robek oleh anjing-anjing jahanam,
sebagaimana firman-Nya Ta’ala, “Demi yang merobek-robek dengan merobek yang
sebenar-benarnya...” (QS. An-Naaziyat [79] : 2) Di neraka itu, daging akan
dirobek hingga mencapai tulang...”
Mendengar penuturan Nabi
sedemikian itu, Mu’adz kembali bertanya dengan suaranya yang semakin lirih,
“Wahai Rasulullaah, siapa sebenarnya yang akan mampu melakukan itu semua...??”
“Wahai Mu’adz...! Sebenarnya
apa-apa yang telah aku paparkan tadi dengan segala penjelasannya serta
cara-cara menghindari bahayanya itu semua akan sangat mudah bagi dia yang
dimudahkan oleh Allah Ta’ala... oleh karena itu cukuplah bagimu mencintai
sesama manusia, sebagaimana engkau mencintai jiwamu sendiri, dan engkau
membenci mereka sebagaimana jiwamu membencinya. Dengan itu semua niscaya engkau
akan mampu dan selamat dalam menempuhnya...!!”
Khalid bin Ma’dan kemudian
berkata bahwa Mu’adz bin Jabal sangat sering membaca hadits tersebut
sebagaimana seringnya beliau membaca Al-Qur’an, dan sering mempelajarinya serta
menjaganya sebagaimana beliau mempelajari dan menjaga Al-Qur’an di dalam
majelis pertemuannya.
Al-Ghazali Rahimahullaah kemudian
berkata, “Setelah kalian mendengar hadits yang sedemikian luhur beritanya,
sedemikian besar bahayanya, atsarnya yang sungguh menggetarkan, serasa akan
terbang bila hati mendengarnya serta meresahkan dan menyempitkan dada yang kini
penuh dengan huru-hara yang mencekam. Kalian harus berlindung kepada Rabb mu,
Pemelihara Seru Sekalian Alam. Berdiam diri di ujung sebuah pintu taubat, mudah-mudahan
kalbumu akan dibuka oleh Allah dengan lemah lembut, merendahkan diri dan
berdo’a, menjerit dan menangis semalaman. Juga di siang hari bersama
orang-orang yang merendahkan diri, yang menjerit dan berdo’a kepada Allaah
Ta’ala. Sebab itu semua adalah sebuah persoalan besar dalam hidupmu yang kalian
tidak akan selamat darinya melainkan disebabkan atas pertolongan dan rahmat
Allah Ta’ala semata.”
Lalu adakah sesuatu yang membuat
kita layak dan mampu mendapatkan penyambutan terbaik dari Allah, sementara
semua dosa yang membentengi kita untuk bisa sampai pada-Nya kita miliki, kita
lakukan dan tumbuh begitu shubur dalam hati, diri dan perilaku kita
sehari-hari? Lalu masih adakah kesombongan dalam hati kita sehingga kita merasa
layak mengaku diri sebagai hamba yang sholeh yang paling pantas menerima cinta
dan penerimaan dari Allah SWT.? Seandainya bukan karena kasih sayang
Dia,sungguh bahkan harum syurgapun tak pernah layak untuk kita cium.
Teringat Firman Tuhan dalam kitab suci yang setiap
waktu aku dawamkan, karena ayat-ayat tersebut selalu menjadi cambuk yang
mengingatkan saya kembali disaat saya merasa lemah, merasa lalai, merasa lelah
dan mulai berputus asa :
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah
setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok
(akhirat), dan bertakwalah kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan.
Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu
Allah juga membuat mereka lupa pada diri mereka sendiri, mereka itulah
orang-orang yang fasik.
Tiada sama penghuni-penghuni neraka dengan penghuni syurga;
penghuni-penghuni syurga itulah orang-orang yang beruntung.
Kalau sekiranya kami menurunkan al-Qur’an ini kepada sebuah gunung,
pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah,
dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami Buat untuk supaya mereka berpikir.
Dia-lah Allah tiada Tuhan selain Dia, Yang mengetahui hal yang ghaib
dan yang nyata, Dia-lah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Dia-lah Allah tiada Tuhan selain Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha
Sejahtera, Yang Maha Mengaruniakan Keamanan, Yang Maha Memelihara, Yang Maha
Perkasa, Yang Maha Kuasa, Yang Memiliki Segala Keagungan, Maha Suci Allah dari
apa yang mereka persekutukan.
Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa,
Yang Mempunyai Nama-nama yang Paling Baik, Bertasbih kepada-Nya apa yang ada di
langit dan di bumi. Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
(Al-Hasyr [59]:18-24)
Pertapaan Aster 81. Februari 2012
SEBUAH PENGAKUAN
(AL-I’tirof)
Tuhanku... aku tidak layak memasuki syurga Firdaus
Dan aku pun tak mampu menahan siksa api Neraka
Dan aku pun tak mampu menahan siksa api Neraka
Terimalah taubatku dan ampunilah dosa-dosaku
Sesungguhnya Engkaulah Pengampun dosa-dosa besar
Sesungguhnya Engkaulah Pengampun dosa-dosa besar
Dosa-dosaku amatlah banyak bagai butiran pasir
Terimalah taubatku, wahai Yang Maha Agung
Terimalah taubatku, wahai Yang Maha Agung
Umurku berkurang setiap hari, sedang dosa-dosaku terus bertambah
Bagaimana aku sanggup menanggungnya?
Bagaimana aku sanggup menanggungnya?
Tuhanku... hamba-Mu yang durhaka ini datang bersimpuh menghadap-Mu
Mengakui dosa-dosa dan menyeru memohon kepada-Mu
Mengakui dosa-dosa dan menyeru memohon kepada-Mu
Bila Kau mengampuni, Engkaulah Sang Pemilik Ampunan
Bila Kau campakkan aku, kepada siapa aku mesti berharap selain dari-Mu?
Bila Kau campakkan aku, kepada siapa aku mesti berharap selain dari-Mu?
-‘ABU NAWAS’-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar