Rabu, 17 Agustus 2011

HARGA SEBUAH KEBAHAGIAAN




HARGA SEBUAH KEBAHAGIAAN

Sambil menikmati segelas capucino dan sepotong sandwich di tempat makan di sebuah mini market yang terletak di kawasan Stasiun Gambir, saya perhatikan wajah dan perilaku orang-orang yang ada disitu dan orang-orang yang sedang berlalu-lalang, Saya yakin sekali mereka semua adalah para pemburu kebahagiaan, walaupun tidak sedikit saya lihat wajah-wajah yang terlihat jelas guratan ketidak bahagiaan dalam kehidupannya. Fikiran saya menerawang pada kejadian semalam, dimana saya berbincang dengan seorang relasi saya, saat itu relasi saya menceritakan pengalaman masa lalunya sewaktu dia susah dulu, dan perjuangan hidupnya hingga dia bisa meraih keadaan seperti sekarang, pengalaman hidupnya itu telah membawa nya pada sebuah pemikiran bahwa agama itu hanyalah penghalang kesuksesan, membuat manusia jadi irasional dan membuat manusia itu menjadi manusia-manusia memecah-mecah diri nya dengan yang lain dan saling menghujat antar kubu yang berlainan faham agama. Saya hanya mendengarnya saja saat itu, karena memang saat itu bukan saat yang tepat buat saya memberikan pandangan saya akan pemikirannya itu.

Saya jadi teringat sebuah cerita yang mengisahkan tentang 2 orang tukang sol sepatu, cerita yang sangat inspiratif dan mampu menyentuh dimensi kesadaran saya tentang agama dan kehidupan, kira-kira begini ceritanya :

Bang Samad, begitulah dia dipanggil, seorang penjual jasa perbaikan sepatu yang biasa disebut tukang sol. Setiap pagi buta sebelum cahaya fajar menyingsing dia sudah keluar dari rumah meninggalkan anak

dan istrinya seraya berharap, nanti sore hari Bang Samad membawa uang untuk membeli nasi dan sedikit lauk pauk. Bang Samad terus menyusuri jalan sambil berteriak menawarkan jasanya. Sampai tengah hari, baru satu orang yang menggunakan jasanya. Itu pun hanya perbaikan kecil.

Perutnya mulai terasa lapar dan tubuhnya mulai merasa lemas. Cuma air teh yang dia bawa dari rumah buat mengganjal perutnya. Mau beli makan, uangnya gak cukup. Cuman berharap dapat order banyak biar bisa bawa uang ke rumah. Perutnya sendiri nggak dia hiraukan.

Di tengah keputus asaan, dia berjumpa dengan seorang tukan sol lainnya. Wajahnya cukup berseri. “Pasti, si Abang ini sudah dapat duit banyak nich.” pikir Bang Samad. Mereka berpapasan dan saling menyapa. Akhirnya berhenti untuk buat sekedar ngobrol.

“Gimana dengan hasil hari ini bang? Kayaknya laris nich?” kata Bang Samad memulai percakapan.
“Alhamdulillah. Ada beberapa orang benerin sepatu.” kata tukang sol yang kemudian diketahui namanya Bang Imran.

“Saya baru satu bang, itu pun cuma benerin jahitan.” kata Bang Samad memelas.
“Alhamdulillah, itu harus disyukuri.”

“Mau disyukuri gimana, buat beli beras juga beli beras aja nggak cukup.” kata Bang Samad sedikit kesal.
“Justru dengan bersyukur, nikmat kita bakal ditambah.” kata bang Imran sambil tetap tersenyum.

“Emang begitu bang?” tanya Bang Samad, yang sebenarnya dia sudah tahu harus banyak bersyukur.
“Insya Allah. Mari kita ke Masjid dulu, sebentar lagi adzan dzuhur.” kata bang Imran sambil mengangkat pikulannya.

Bang Samad sedikit kikuk, karena dia nyaris gak pernah “mampir” ke tempat shalat.

“Ayolah, kita mohon sama Allah biar kita dikasih rezeki yang barakah.”

Akhirnya, Bang Samad mengikuti bang Imran menuju sebuah masjid terdekat. Bang Imran begitu hapal tata letak masjid, kayaknya emang udah sering ke masjid itu.

Setelah shalat, bang Imran ngajak Bang Samad ke warung nasi buat makan siang. Tentu saja Bang Samad bingung, sebab dia gak punya duit. Bang Imran ngerti,

“Ayolah, kita makan dulu. Saya yang traktir.”

Akhirnya Bang Samad ikut makan di warung Tegal terdekat. Setelah makan, Bang Samad berkata,

“Saya gak enak nich. Nanti uang buat dapur abang berkurang gara-gara traktir saya.”

“Tenang saja, Allah pasti menggantinya. Bahkan lebih besar dan barakah.” kata bang Imran tetap tersenyum.
“Abang yakin?”

“Insya Allah.” jawab bang Imran meyakinkan.

“Kalau begitu, saya mau shalat lagi, bersyukur, dan mau sedekah sama orang lain.” kata Bang Samad penuh harap.

“Insya Allah. Allah pasti nolong kita.” Kata bang Imran sambil salaman dan ngucapin salam untuk berpisah.

Keesokan harinya, mereka ketemu lagi di tempat yang sama. Bang Imran mendahului menyapa.

“Apa kabar Bang Samad?”

“Alhamdulillah, baik. Oh ya, saya sudah ngikutin tuh saran Abang, tapi kenapa koq penghasilan saya malah turun? Hari ini, saya belum dapet satu pun pekerjaan.” kata Bang Samad setengah menyalahkan.

Bang Imran cuma tersenyum. Kemudian berkata,

“Masih ada hal yang perlu Bang Samad lakukan buat dapetin rezeki yang barakah.”

“Oh ya, apa itu?” tanya Bang Samad penasaran.

“Tawakal, ikhlas, dan sabar.” kata bang Imran sambil kemudian mengajak ke Masjid dan mentraktir makan siang lagi.

Keesokan harinya, mereka bertemu lagi, tetapi di tempat yang berbeda. Bang Samad yang beberapa hari ini sepi order berkata setengah menyalahkan lagi,

“Wah, saya makin parah. Kemarin nggak dapat order, sekarang juga belum dapet order sama sekali. Apa saran abang nggak cocok buat saya?”

“Bukan nggak cocok. Mungkin keyakinan Bang Samad belum kuat atas pertolongan Allah. Coba renungkan, sejauh mana Bang Samad yakin bahwa Allah akan menolong kita?” jelas bang Imran sambil tetap tersenyum.

Bang Samad cukup tersentak mendengar penjelasan tersebut. Dia mengakui bahwa hatinya sedikit ragu. Dia cuma “coba-coba” jalanin apa sarannya bang Imran.

“Gimana supaya yakin bang?” kata Bang Samad sedikit pelan hampir tak terdengar.

Rupanya, bang Imran sudah bisa menebak, kemana arah pembicaraannya.

“Saya mau nanya, apa kita janjian buat ketemu disini hari ini?” tanya bang Imran.

“Tidak.”

“Tapi nyatanya kita ketemu, bahkan 3 hari berturut-turut. Bang Samad dapet rezeki bisa makan sama saya. Jika bukan Allah yang mengatur, siapa lagi?” lanjut bang Imran. Bang Samad terlihat berpikir dalam. Bang Imran melanjutkan, “Mungkin, sudah banyak petunjuk dari Allah, cuma saja kita jarang atau kurang memperhatikan petunjuk tersebut. Kita tidak menyangka Allah akan menolong kita, karena kita sebenarnya tidak berharap. Kita tidak berharap, karena kita tidak yakin.”

Bang Samad manggut-manggut. Sepertinya mulai paham. Kemudian mulai tersenyum.

“OK dech, saya paham. Selama ini saya akui saya emang ragu. Sekarang saya yakin. Allah sebenarnya sudah membimbing saya, saya sendiri yang tidak melihat dan tidak mensyukurinya. Terima kasih bang.” kata Bang Samad, matanya terlihat berkaca-kaca.

“Berterima kasihlah kepada Allah. Sebentar lagi dzuhur, kita ke Masjid yuk. Kita mohon ampun dan bersyukur kepada Allah.”

Mereka pun mengangkat pikulan dan mulai berjalan menuju masjid terdekat sambil diiringi rasa optimist bahwa hidup akan lebih baik.

                                                                                        **********

Banyak sekali orang mencari harta yang ada di luar dirinya, seperti ketinggian tahta dan kekayaan material,yang untuk mendapatkannya harus dibayar dengan harga yang sangat mahal, yaitu banyak penderitaan dan perjuangan yg berat... itu bukanlah hal yang salah, Namun kebanyakan kita tidak menyadari bahwa sesungguhnya di dalam diri terdapat banyak sekali harta dan ketinggian2 yang luar biasa mengagumkan yang mampu mengantarkan kita pada kesuksesan hakiki yaitu kebahagiaan lahir bathin... yang mampu membuat kita sukses tidak hanya ketika sampai ditempat tujuan tetapi juga sukses ketika dalam perjalanan menuju sukses...dan harga nya pun hanyalah kepingan permata Cinta,Ikhlash dan kepasrahan...
Suatu hari Seorang Mahasiswi bertanya apa inti agama menurut saya, saya cuma bisa menjawab :

Ayat yang pertama kali diturunkan menyuruh kita untuk mau selalu membaca semua fenomena dan pengalaman, mau selalu belajar... agar kita menjadi manusia yg cerdas... karena agama itu sesungguhnya mengajak manusia untuk mau memaksimalkan fungsi akal nya...

Agama mengajarkan tentang ikhlash, shabar dan berserah diri agar kita menjadi manusia yang tangguh, rendah hati & tidak lupa diri, Agama menyuruh kita untuk bekerja keras agar kita menjadi seorang yang berdedikasi, Agama mengajarkan kita tentang etika agar kita menjadi orang yang menghargai dan dihargai, Agama mengajarkan kita tentang syukur agar kita menjadi manusia yang selalu bahagia...

Agama menyuruh kita beribadah agar jiwa kita selalu tenang sehingga akal bisa bfungsi maksimal, agama menyeru kita puasa agar kita menjadi manusia yang mampu menjadi raja yang memegang kendali atas diri kita, agama mengajarkan kita sedekah, zakat dan berbuat baik agar kita menjadi manusia yang peka dan bermanfaat... intinya agama mengarahkan manusia untuk menjadi manusia yang sempurna hidup dengan penuh kebahagiaan. Jadi untuk kepentingan siapakah agama itu?

Jawabannya tentu saja agama itu diciptakan untuk kita, agar kita bisa menjadi manusia sempurna tanpa cela dan dipenuhi sifat mulia, manusia yang memiliki kekuatan hati yang luar biasa sehingga mampu menjalani kehidupan ini dengan hati yang lapang dan penuh bahagia tanpa sedikitpun pernah merasa menderita, menjadi manusia yang memiliki jiwa yang tenang, yang penuh dengan kedamaian dan menjalani hidup ini dengan penuh kedamaian, serta mampu memaksimalkan potensi diri dan lingkungannya, dan manusia-yang penuh cinta dan kasih sayang, sehingga terciptalah kehidupan yang indah, penuh dengan penghargaan, penuh dengan kedamaian,harmonis dan penuh dengan kasih sayang.

Semoga kita menjadi pribadi-pribadi yang sempurna tanpa cela, penuh dengan kemuliaan dan hidup dalam limpahan kebahagiaan serta mampu membahagiakan orang lain.

Salam - donie Pangestu
Pondok kalbu, Juni 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar