Saat kebanyakan manusia di seluruh belahan bumi sedang menikmati dan larut dalam euforia perayaan tahun baru 2013 bersama teman,sahabat, kerabat, kekasih atau keluarga tercinta aku memilih untuk menikmati menyepi dalam kesendirian ditemani gegap gempita suara kembang api yang menghiasi langit malam ini, sejak sore tadi semua orang di rumah pergi ke tempat kakak ku kecuali adikku anak yang no 3,dia pergi merayakan tahun baru bersama teman-temannya.
Kuseduh secangkir kopi untuk menemaniku, hari ini aku mendapatkan pertanyaan dari seorang perempuan yang sudah ku khitbah beberapa bulan lalu, "kang kenapa kamu milih aku? padahal tak ada sedikitpun kebaikan dan kelebihan yang kupunya, tak sedikitpun kau mendapatkan keuntungan dengan menikahiku kecuali hanya menambah bebanmu saja! aku yang sudah terbiasa hidup dimanja sebagai anak bungsu, tak tahu bagaimana seharusnya aku bersikap bila sudah menikah nanti? aku tak tahu caranya melayani suami dan mendidik anak, aku bahkan tak mampu membayangkan bagaimana bila aku sudah menikah nanti?,aku ingin hanya mengalamai sekali menikah untuk seumur hidupku dengan dia yang menjadi suamiku" yah ini adalah pertanyaan yang juga banyak dilontarkan oleh para mahasiswi binaanku.
Aku teringat sebuah cerita yang di tulis oleh guruku Prof DR. KH. Afif Muhammad yang berjudul "WANITA TANPA BAKAT" yang menceritakan tentang ibunya, tentang bagaimana ibunya mendidik anak-anaknya dan menjadi istri untuk suaminya, tulisan beliau sungguh merupakan gambaran yang menunjukkan tentang sosok seorang istri yang sempurna dan seorang ibu yang sempurna walaupun dengan segala keterbatasannya, inilah kisahnya :
Kalau ada seorang perempuan yang paling sabar di dunia ini,
itu pasti ibuku. Seperti umumnya orang Jawa pesisiran, aku memanggil
ibuku dengan “Emak.” Orangnya tinggi semampai, berkulit langsat, dengan
rambut lurus, hitam tebal. Orang tidak akan menyebut emakku cantik,
tetapi jika dikatakan “manis”, mereka pasti sepakat. Emak, menurutku,
salehnya luar biasa. Emak anak sulung dari sembilan bersaudara. Dari
deretan panjang saudara Emak itu, laki-lakinya hanya ada tiga orang.
Selebihnya perempuan.
Emak buta huruf latin, tetapi pandai membaca
huruf Arab, rajin shalat dan membaca Al-Qur’an. Suaranya sendu dan
bergetar. Bulik-bulikku mengatakan, “Makmu itu, kalau membaca Al-Qur’an,
membuat orang yang mendengarnya bisa nangis.”
Emak adalah orang
yang tidak bisa berteriak. Seumur hidupku, aku belum pernah mendengar
Emak bersuara tinggi. Entah tidak bisa, atau memang tidak mau, sampai
hari ini aku tidak tahu. Yang aku tahu, Emak jarang sekali marah. Kalau
pun marah, Emak cenderung diam. Sepertinya, amarahnya tidak pernah bisa
keluar, karena dada Emak begitu kuat menahannya. Tetapi, itu tak berarti
Emak tidak pernah marah. Namanya juga manusia. Cuma, marah Emak
diwakilkan kepada anak-anaknya. Maksudku begini. Sekali waktu, ketika
aku minta embuh, nasi sudah tidak ada lagi. Aku menangis sambil gulung-gulung di
tanah. Piring kulempar. Eee…, Emak tenang-tenang saja. Yang marah
justeru kakak-kakakku. Mereka mengikat aku di salah satu tiang bambu
yang ada di dapur. Emak tidak mencegah mereka. Sepertinya, dia mau
mengatakan, “Kalau kamu seperti itu, Emak tidak marah, tapi
kakak-kakakmu yang marah padamu.”
Ketika aku meronta, tiang itu
jebol, dan kakak-kakakku membawa aku ke lubang sampah yang lebarnya
kira-kita dua meter dan dalamnya satu setengah meter. Mereka
mengancamku untuk memasukkan aku ke lubang itu. Ancaman itu mujarab.
Aku tidak menangis lagi. Kemudian Emak memandikanku di sumur, sambil
menasehatiku dengan suara lembutnya. Dan semuanya selesai. Aku tidak
tahu bagaimana perasaan Emak saat itu. Mungkin hatinya tersayat-sayat
melihat aku masih ingin makan, tetapi nasi sudah tidak ada lagi. Padahal
sebenarnya, tidak boleh embuh itu sudah aturan keluarga. Cuma, karena ketika itu aku masih kecil, aku kurang bisa memahaminya.
Malam
harinya, ketika Emak menidurkan aku, Emak menasehatiku dengan suaranya
yang lembut, “Anak seusiamu boleh nakal, tetapi tidak boleh merusak…”.
Mendengar itu, diam-diam aku menangis.
Hubungan Emak dengan Bapak
bukan sekedar hubungan suami dengan isteri, tetapi guru dan murid. Kalau
Bapak berbicara kepada Emak, Bapak menggunakan bahasa ngoko, tetapi Emak menjawabnya dengan bahasa kromo. Emak
begitu hormat kepada Bapak, sampai-sampai tidak pernah kudengar dia
protes barang sekali pun. Aku tidak tahu apa sebabnya. Mungkin kakek
dan nenekku (dari pihak Emak) mengajarinya begitu. Melawan suami? Tidak
ada kamusnya. Karena, memang tidak ada alasan bagi Emak buat melawan
Bapak.
Emak pernah bercerita kepadaku bahwa ketika menikah dengan Bapak, Bapak adalah joko tua
(bujangan tua). Ukurannya bukan usia Bapak, tetapi jarak usia mereka
berdua. Aku tidak tahu persis berapa jarak usia Emak dengan Bapak.
Tetapi, ketika Bapak meninggal duani di tahun 1993, usianya 93 tahun.
Emak meninggal dunia tahun 2000 dalam usia 83 tahun. Berapa tahun tuh jaraknya?
Kata
Emak, ketika menikah, Emak masih kecil. Mereka dijodohkan oleh Embah
(ayahnya Emak). Ceritanya seperti kisah para pendekar jaman dulu. Bapak
adalah santrinya Kiai Muntaha di Pondok Kedung Macan. “Kedung” artinya
sarang dalam bentuk lubang besar. Lazimnya di tengah Sungai. Jadi,
mestinya Kedung (untuk) Buaya, bukan Kedung Macan. Entahlah. Mungkin di
kampung itu dahulu ada macan yang bersarang di dalam kedung di tengah
suangai, sehingga namanya menjadi Kedung Macan. Sedangkan Emak
tinggal bersama Embah di Tawangsari. Aku yakin Embah orang asli Jombang.
Sebab, sanak-familinya tersebar di seluruh penjuru Mojopahit.
Emak
adalah tipe isteri yang berbakti kepada suami. Keikhlasannya menjadi
pendamping Bapak memancar lahir dan batin. Tampaknya, konsep “suwarga nunut neraka katut”
benar-benar mendarah-daging pada diri Emak. Sepertinya Emak yakin betul
bahwa Bapak pasti membawanya ke surga, tidak ke neraka. Antara mereka
berdua tidak pernah ada pertengkaran, tidak ada protes, tidak ada
keluh-kesah, tidak ada kata kasar dan bentakan. Yang ada adalah
kesabaran dan ketabahan dalam menghadapi kehidupan yang sangat berat.
Kondisi seperti itu yang membuat aku, hingga kini, pasti tersentak
kaget setiap mendengar suara tinggi, apalagi bentakan.
Semua itu
membuat Emak memang tidak ceria, tetapi juga tidak kelabu. Wajahnya
teduh, dan memancarkan keikhlasan dan kesabaran tanpa batas. Kebutuhan
hidupnya sangat tidak tercukupi. Tetapi Emak tidak pernah mengeluh.
Tidak pula pernah menangis. Kalau pun pernah, aku tak pernah
melihatnya, bahkan sampai Emak meninggalkan kami. Di tangan Emak, apa
yang bagi orang lain tak cukup, menjadi cukup. Yang sempit menjadi
lapang. Yang dianggap orang hanya cukup untuk seorang, di tangan Emak
bisa cukup untuk tiga orang. Daya tahannya benar-benar luar biasa, dan
itu dialirkannya ke tubuh kami lewat setiap kepal nasi yang
dibagikannya di piring-piring kami, lewat setiap tetes air yang kami
teguk, lewat dingin malam yang kami lalui dalam gelap, lewat terobosan
angin yang menyelusup di dinding-dindingbilik rumah kami yang
berlubang, lewat suara sendunya saat membacara kalam Ilahi, lewat cahaya
matanya yang berkaca-kaca tetapi tak pernah mengalirkan air mata, lewat
detik-detik waktu yang kami jalani jengkal demi jengkal, lewat
lidah-lidah api yang marayap dari daun-daun kering yang digunakannya
untuk menanak nasi.
Daun-daun kering untuk menanak nasi? Ya. Emak
memang sering memasak dengan menggunakan daun kering sebagai pengganti
kayu bakar. Mestinya hal itu tidak perlu terjadi. Sebab, mencari kayu
bakar dari ranting-ranting pohom atau carang (ranting-ranting
pohon bambu) kering tidak terlalu sulit kami dapatkan. Tetapi Emak tentu
tidak dapat melakukan itu. Biasanya aku yang melakukannya. Tetapi,
sebagai anak-anak yang masih dalam usia senang bermain, aku tidak
selamanya dapat mencari kayu atau carang untuk Emak. Kesadaran
kanak-kanakku rasanya belum dapat menjangkau hal-hal seperti itu. Sekali
pun tidak sering, aku tidak jarang membiarkan Emak tidak punya kayu
untuk menanak nasi. Kalau sudah begitu Emak menyapu pekarangan kami yang
memang luas itu, guna mengumpulkan daun-daun nangka dan mangga yang
berserakan. Daun-daun keringnya dipisahkan dari daun-daun basahnya, lalu
daun-daun itu dimasukkan ke sangkar ayam, dan dibawa ke dapur. Dengan
daun-daun kering itulah Emak menanak nasi. Jadi, bisa kawan-kawan
bayangkan berapa lamanya menanak nasi dengan daun-daun kering seperti
itu. Sebab, jika kita menaruh tangan kita di atas lidah-lidah apinya,
rasanya tidak panas.
Sekali pun dengan daun kering, nasi atau air
yang ditanak Emah, toh, masak juga. Entahlah, untuk waktu itu rasanya,
ya, biasa-biasa saja. Tidak lama. Mungkin karena manusia zaman itu belum
sibuk seperti sekarang, sehingga semuanya berjalan tidak tergesa-gesa
seperti sekarang ini. Matahari rasanya lambat berjalan. Waktu antara
Zhuhur ke `Ashar, dan `Ashar ke Maghrib, terasa cukup lama, sehingga
bermain layang-layang pun bisa kenyang. Keadaan seperti itu sangat
berbeda dengan yang aku rasakan ketika aku sudah dewasa. Sekarang ini
aku merasakan bahwa waktu berjalan begitu cepat. Entahlah, mungkin
karena aku sibuk, sehingga waktu berjalan tanpa terasa. Tambahan lagi,
orang-orang sekarang kan penuh persaingan. Kalau tidak cepat, pasti
tidak dapat. Akibatnya, segala sesuatu berjalan tergesa-gesa,
seakan-akan semua orang dikejar-kejar waktu. Atau, jangan-jangan,
matahari memang berjalan lebih cepat?
Dengan anak delapan orang,
hampir di sepanjang hidupnya, Emak tidak merasakan kegembiraan. Emak
tidak pernah punya baju bagus. Bahkan jumlah bajunya pun sangat sedikit.
Lemari kami yang tinggi besar dan terbuat dari jati itu tidak pernah
ada isinya. Apalagi perhiasan. Dalam hal makan, beras untuk hari ini,
ya, dibeli hari ini. Bahkan, kadang-kadang tidak ada. Botekan-nya pun lebih sering kosongnya dibanding berisinya. Karena itu, ketika kami pingin rujakan, kami
seringkali sulit menemukan bumbu, bahkan sekedar sebutir cabai rawit
sekali pun. Itu sebabnya masakan Emak “tidak enak.” Bukan karena Emak
tidak pandai memasak, tetapi bumbunya yang nggak ada. Karena
itu, ketika kami sudah sama-sama dewasa, dan kebetulan bisa berkumpul,
lalu kami membicarakan masakan Emak, kami berkata sambil
tersenyum-simpul: “Masakan Emak tidak enak.” Kalau sudah begitu, Mas
Chalik pasti membela, “Ya, karena nggak ada yang bisa dipakai membuat
enak, Dik….” Dan kami pun tertawa gembira. Kami semua bangga punya Emak
seperti itu, sebangga kami terhadap Bapak.
Pengaruh Bapak pada
diri Emak kuat sekali, sehingga Emak menjadi sangat berbeda dari
saudara-saudaranya. Ketaatannya beribadah, adalah ketaatan Bapak.
Khusyu`nya dalam shalat adalah kekhusyu`an Bapak. Ketidaksukaannya
membicarakan orang adalah kebiasaan Bapak. Walhasil, menurutku, Emak
sudah “lenyap” dalam pusaran Bapak yang demikian kuat.
Ketika aku
rindu pada Bapak dan Emak seperti sekarang ini, aku sering membayangkan
betapa menderitanya mereka. Tetapi penderitaan itu mereka hadapi tanpa
suara. Bukan bisu, tetapi diam. Sikap diam yang sanggup membuat
penderitaan menyerah di kaki mereka. Mereka berdua adalah orangtua yang
rela menderita demi anak-anak mereka. Pandangan mereka jauh ke depan,
sehingga yang di depan mata tidak mereka perdulikan. Mereka berdua
begitu memperhatikan kami, sehingga hak-hak mereka untuk sedikit senang,
rasanya sudah kami rampas sehabis-habisnya.
Emak sepertinya
dihadirkan Tuhan untuk menjadi perempuan tanpa bakat, kecuali tabah dan
sabar. Sebab, ketika Emak berusaha melawan kesulitan hidup kami dengan
berbagai usaha, semuanya gagal. Emak pernah mencoba menjadi penjual ikan
asin di pasar kota, dan gagal. Menjual jamu dan tembakau susur, juga
tidak berhasil. Ketika ibu-ibu lain memelihara ayam dan bertelur banyak,
ayam-ayam yang dipelihara Emak seperti mandul. Ketika orang-orang lain
menanam mangga dan berbuah lebat, pohon mangga kami justeru berulat.
Kata orang, tangan Emak “panas.” Ia keturunan Drupadi, yang tidak
diciptakan kecuali hanya untuk menjadi ibu bagi anak-anaknya.
**********
Seorang wanita dengan segala keterbatasannya, jauh sekali dari kesempurnaan, tapi dia mampu memberikan cinta yang sempurna untuk suami dan anak-anaknya, sebagai istri dia mampu memberikan penerimaan dan ketulusan yang sempurna untuk suaminya walaupun suaminya tak mampu memberikan limpahan kebahagiaan material kepadanya, dia memang tak mampu membantu suaminya menambah nafkah keluarga, tapi dia tidak membebani suaminya dengan keluh kesahnya, dia terima dan syukuri apapun yang ada pada suaminya dan yang diberi oleh suaminy,. sebagai ibu dia mampu memberikan teladan yang sempurna pada anak-anaknya, tak banyak kata yang dia ucapkan untuk mengajarkan anak-anaknya, namun segala perilakunya menjadi teladan bagi semua anaknya.
dengan segala cinta dan ketulusannya, wanita tanpa bakat itu telah berhasil mencetak anak-anak yang bersahaja dengan pribadi dan kehidupan yang luar biasa seperti guruku yang telah menuturkan kisah tersebut. Yakinilah tak ada seorangpun yang sempurna di dunia ini, tak perlu juga menjadi seorang yang sempurna untuk bisa menjadi seorang istri dan seorang ibu yang sempurna, cukup berusahalah memberikan cinta, ketulusan dan pengorbanan yang sempurna, lalu syukurilah semua fase kehidupanmu secara sempurna, maka kebahagiaan, cinta dan kasih sayang dari Allah dan semua yang kau cintai akan kamu dapatkan dengan sempurna.
Salam
Dini Hari di awal tahun 2013
Pertapaan Aster 81
Seorang wanita dengan segala keterbatasannya, jauh sekali dari kesempurnaan, tapi dia mampu memberikan cinta yang sempurna untuk suami dan anak-anaknya, sebagai istri dia mampu memberikan penerimaan dan ketulusan yang sempurna untuk suaminya walaupun suaminya tak mampu memberikan limpahan kebahagiaan material kepadanya, dia memang tak mampu membantu suaminya menambah nafkah keluarga, tapi dia tidak membebani suaminya dengan keluh kesahnya, dia terima dan syukuri apapun yang ada pada suaminya dan yang diberi oleh suaminy,. sebagai ibu dia mampu memberikan teladan yang sempurna pada anak-anaknya, tak banyak kata yang dia ucapkan untuk mengajarkan anak-anaknya, namun segala perilakunya menjadi teladan bagi semua anaknya.
dengan segala cinta dan ketulusannya, wanita tanpa bakat itu telah berhasil mencetak anak-anak yang bersahaja dengan pribadi dan kehidupan yang luar biasa seperti guruku yang telah menuturkan kisah tersebut. Yakinilah tak ada seorangpun yang sempurna di dunia ini, tak perlu juga menjadi seorang yang sempurna untuk bisa menjadi seorang istri dan seorang ibu yang sempurna, cukup berusahalah memberikan cinta, ketulusan dan pengorbanan yang sempurna, lalu syukurilah semua fase kehidupanmu secara sempurna, maka kebahagiaan, cinta dan kasih sayang dari Allah dan semua yang kau cintai akan kamu dapatkan dengan sempurna.
Salam
Dini Hari di awal tahun 2013
Pertapaan Aster 81
Tidak ada komentar:
Posting Komentar